STAY WITH ME
Pagi
ini begitu berbeda. Aku merasa ada yang mengganjal dalam hati ini. Rasa sesak
mengganggu sejuknya pagi hari yang dihiasi oleh embun dan cerahnya cahaya
mentari. Entah kenapa aku merasakan ini, tapi aku tidak memperdulikannya. Aku
segera bangkit dari tempat tidurku yang sepertinya memiliki magnet yang begitu
tinggi sehingga aku sangat malas sekali meninggalkan tempat ini. Tapi aku harus
segera bangun, karena hari ini ada ekstra kulikuler photographer di sekolahanku.
Aku
bernama Tian, berjenis kelamin perempuan, dengan tinggi 165 cm dan berkulit
putih. Aku anak satu-satunya dalam keluarga ini. Bunda dan ayah begitu
menyayangiku karena aku adalah anak satu-satunya. Aku bersekolah di salah satu
sekolah menengah kejuruan yang cukup populer di daerah sini. Di sana, aku masih
duduk di kelas 11 dengan jurusan Multimedia. Aku mengikuti ekskul photographer. Kata teman-teman, aku
mempunyai wajah yang cantik dan imut. Namun sayang hatinya masih penuh tanda
tanya. Hanya aku dan sang pencipta lah yang mengetahui isi dari hati ini.
Aku
keluar dari kamar mandi yang luasnya hanya 2x2 meter ini. Tubuhku hanya
terbalutkan sebuah handuk. Aku bergegas ke dalam kamar tidurku untuk memakai
baju dan biasanya aku tidak terlalu banyak gaya. Aku hanya berpakaian seadanya.
Tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Yang penting sopan dan pantas.
Setelah memakai baju, aku langsung
bergegas ke meja makan untuk sarapan. Di sana ada bunda yang sedang
menyiapkannya. Sementara ayahku sedang tidur, karena ia berkerja di malam hari
dan pulang di pagi hari. Jadinya sekarang waktu istirahat untuknya. Sarapan
yang paling tidak tergantikan bagiku adalah goreng telur, lalu menambahkan
kecap. Sarapanku tiap harinya hanya seperti itu. Tapi entah mengapa, hari ini
lidahku terasa pahit. Aku mempunyai firasat yang tidak enak untuk hari ini.
“Tumben
sarapan kamu tidak habis sayang?” tanya Bunda yang heran melihatku tidak
menghabiskan sarapannya.
“Engga
bunda, aku udah kenyang nih.” Jawabku sambil tersenyum. Aku putuskan untuk
tidak memberi tahu bahwa aku sedang merasa tidak enak badan.
“Kamu
bosan sama menu sarapannya ya sayang?” tanya bunda lagi sambil menghampiriku
dan mengusap kepalaku.
“Engga
kok bun. Beneran deh aku udah kenyang.” Jawabku sambil meninggalkan meja makan.
Lalu mengambil tasku dan mengambil sepatu.
“Yaudah
gih berangkat sayang. Udah jam delapan tuh.” Ucap Bunda sambil membersihkan meja
makan.
“Yaudah
bun, aku berangkat dulu ya.” Ucapku sambil menghampiri bunda dan mencium
tangannya.
“Iya
sayang. Hati-hati ya!” jawab bunda.
Aku
bergegas keluar rumah, lalu memakai sepatu favoritku yang bermerk naikin dengan logo yang ciri khas
berbentuk ceklis. Aku menyukai sepatu ini sejak ayahku membelikannya di salah
satu supermaket dekat sini. Karena waktu ayah membelinya, aku sedang
mengidolakan orang yang menjadi model di iklan sepatu yang aku pakai ini. Aku
orangnya seperti itu, walaupun sepatu ini rusak, tapi karena aku masih nyaman
memakainya jadi ya aku pakai saja. Setelah aku pakai, aku langsung berjalan
meninggalkan rumah. Ketika berjalan, aku terpeleset dan hampir terjatuh.
Walaupun tidak terjatuh, itu sangat mengejutkanku. Aku bergumam dalam hati,
“Kenapa ya aku mengalami hal ini secara beruntun. Aku punya firasat yang ga
enak nih.” Gumamku.
Setelah
meneruskan perjalananku, aku sampai di pinggir jalan. Tempat biasa untuk
menunggu angkot. Inilah hal yang paling menjengkelkan bagiku, yaitu menunggu
angkot. Di sinilah yang membuatku bingung. Bila naik angkot yang penuh, maka
aku harus rela berdesak-desakan. Jika naik angkot yang kosong, maka aku harus
rela jika angkot itu jalannya lambat karena sedang mencari penumpang yang lain.
Tapi untungnya baru semenit aku menunggu, ada angkot yang sudah terisi
penumpangnya dan ada tempat yang kosong. Aku pun menaikinya.
Kurang
lebih 20 menit perjalanan, aku sampai tepat di seberang sekolah. Aku turun dari
angkot, lalu menyebrang dan masuk ke lingkungan sekolah. Sampailah aku tepat di
depan ruangan Photographer. Tiga
teman baikku sudah menunggu disana, yaitu Yanti, Dinar, dan Sofa. Lalu Yanti
menegurku ketika aku menghampiri mereka, “Kamu kenapa Ti? Kok mukanya pucet
gitu?”
“Eh?
Masa sih? Aku ga kenapa-napa kok.” Jawabku, padahal sebenarnya aku sedang
merasa sesak nafas dan sedikit pusing.
“Beneran
kamu gapapa?” tanya Dinar sambil memegang wajahku.
“Iya
muka kamu pucet banget Ti.” Tanya Sofa juga.
“Beneran
gapapa kok.” Jawabku sambil tersenyum.
Dinar
dan Sofa keluar ruangan. Katanya mereka mau jajan ke warung Bang Satria, biasa
disebut Bang Sat. Itu adalah warung langganan kita. Setelah itu, Yanti
mendekatiku dan berkata, “Ti, Kak Ozan juga ada kan.”
“Hah?
Ngapain dia di sekolah?” tanyaku sambil menyimpan tas.
“Seperti
biasa, dia kan ngajar adik kelas yang ikutan ekskul itu.” Jawab Yanti sambil
mengangkat kedua alisnya.
Kak
Ozan adalah murid yang baik, pintar dan terkenal di sekolah ini. Dia adalah
kakak kelasku. Dia mengajar ekskul “Pintar Komputer”, yaitu ekskul yang
mempelajari semua hal tentang komputer. Kak Ozan itu banyak penggermarnya.
Banyak wanita yang suka ke dia, tapi sayang dia tidak meresponnya. Dia justru
menyukaiku sampai sekarang. Aku tahu itu dari Yanti, dia mengetahui semuanya.
Kak Ozan sering curhat menanyakan tentangku padanya. Namun ketika Yanti memberi
tahuku, aku tidak tertarik. Aku adalah orang yang belum pernah pacaran. Maka
dari itu, aku takut pacaran. Aku memberi tahu Yanti untuk bilang ke kak Ozan
untuk tidak mengejarku untuk menjadi pacarnya. Aku terpaksa seperti itu,
padahal sebenarnya aku menyukainya. Sakit sebenarnya jika aku mengingat hal ini.
“Ti?
Kamu ga kenapa-napa?” tanya Yanti menyadarkanku yang sedang melamun.
“Eh?
Gapapa kok Yan.” Jawabku yang terkejut.
“Kamu
kenapa ngelamun? Mikirin Kak Ozan ya? Hayoo haha.” Ucap Yanti sambil
cengengesan.
“Eh
engga kok aku ga mikirin itu.” Jawabku malu dan mukaku memerah.
“Jangan
boong deh. Kenapa kamu gamau sama Kak Ozan? Padahal dia ganteng, baik, pinter,
terkenal, dan banyak deh. Kamu nyesel loh nantinya Ti. Atau nanti kamu malah
telat lagi haha.” Ucap Yanti yang tertawa sambil meledekku.
“Eh
engga apaan sih haha. Aku mau ke kamar mandi dulu ya? Aku kebelet nih.” Ucapku
untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Aku
pun segera berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Ruangan ekskul dan kamar mandi
itu jaraknya cukup jauh, jadi aku harus berjalan melewati lorong-lorong sekolah
untuk mencapai kamar mandi itu. Dari kejauhan, aku melihat ada Kak Ozan yang
sepertinya sedang melihatku. Dia tersenyum, mengeluarkan ekspresi yang
menggemaskan. Tapi lama-kelamaan entah kenapa mataku menjadi gelap. Sedikit demi
sedikit mataku hanya memperlihatkan bayangan saja. Tubuhku merasa lemas sekali.
Dari remang-remang mataku, aku melihat Kak Ozan lari menghampiriku dengan muka
yang panik sekali. Aku begitu lemas dan terbaring di lantai, mataku sudah tidak
bisa terbuka. Tubuhku terasa ada yang memangku, lalu terdengar suara yang tak
asing dari telingaku, yaitu kak Ozan.
“Tian?
Kamu kenapa? Jawab Tian! Tenang Tian, aku akan membawamu ke ruangan UKS. Stay with me Tian!” ucap kak Ozan
berbisik ke telingaku dan berlari membawaku ke ruang UKS.
Aku
tidak sadarkan diri dan tubuhku terasa melayang serta tidak merasakan apapun.
Yang aku tahu, aku sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Setelah itu,
terlihat di pandanganku, tempat yang asing. Terang sekali, ruangan itu serba putih.
Lalu, ada lubang sebesar pintu yang terbuka. Aku melihat ada Kak Ozan, dia
tersenyum dan bilang “Stay with me Tian!”
dia berkata berulang-ulang. Kenapa ini? Ada apa dalam diriku? Aku bingung dan
aku berdoa dalam hatiku. “Ya Tuhan, jangan cabut dulu nyawaku. Aku berjanji
jika aku masih diberi umur, aku akan mengikuti kata hatiku yang menyayangi Kak
Ozan.” Aku terus-menerus berdoa. Sementara itu, lubang yang seperti pintu itu
semakin mengecil dan kak Ozan semakin tidak terlihat. Hingga akhirnya. Lubang itu
tertutup sangat rapat, hal yang membuat hatiku tersentak dan langsung sadarkan
diri. Aku mulai membuka mataku, di sekitarku terdapat teman-temanku. Yaitu
Yanti, Sofa, dan Dinar. Mereka tersenyum melihatku sadarkan diri.
“Ti?
Kamu sudah bangun?” tanya mereka bertiga sambil memgang kepalaku.
“Em
Hah? Iya aku udah sadar. Aku dimana?” tanyaku bingung.
“Kamu
di ruangan UKS Ti, tadi kamu pinsan. Tadi kamu dibawa sama Kak Ozan kesini,
lalu dia memberi tahu kita. Kita khawatir banget takut kamu kenapa-napa.” Jawab
Yanti tersenyum.
“Kak
Ozan?” aku teringat bayangan yang ada dalam mimpiku tadi.
Lalu
aku melanjutkan, “Sekarang Kak Ozan kemana?” tanyaku sambil bangkit dari posisi
tidurku menjadi duduk.
“Dia
tadi ke Apotik beli obat buat kamu. Obat di sini habis.” Ucap Dinar menjelaskan
sambil tersenyum padaku.
“Aku
minta nomor Kak Ozan Yan.” Ucapku sambil mengambil ponselku dalam tas.
“Buat
apa Ti?” tanya Yanti sambil mencari kontak kak Ozan di ponselnya.
“Udah
cepetan, aku minta aja.” Ucapku dengan tegas.
“Nih.”
Ucap Yanti sambil menyodorkan ponselnya padaku.
Aku
menyalin nomor itu, lalu aku menelponnya.
“Kamu
nelepon Kak Ozan? Buat apa?” ucap Sofa terheran padaku.
Aku
tidak menjawabnya, dan tetap berkonsentrasi menelpon Kak Ozan. Tiga kali
berturut-turut teleponku tidak diangkat. Mungkin Kak Ozan sedang mengendarai
motornya, jadi dia tidak bisa mengangkat teleponku.
“Kamu
mau ngapain nelepon Kak Ozan, Ti?” tanya lagi Dinar.
“Udah,
jangan ditanya lagi Din. Biar dia istirahat.” Ucap Yanti menanggapi omongan
dari Dinar tadi.”
Aku
terdiam dan berfikir, lalu aku berkata, “Tadi pas aku ga sadar, aku....” belum
selesai aku berbicara, ponselku berbunyi dan ternyata Kak Ozan lah yang
menelponku. Aku berhenti bercerita dan mengangkat teleponnya. Di sana, ada yang
berkata,
“Halo?”
ucap seseorang yang suaranya sangat asing bagiku. Aku yakin itu bukan suara Kak
Ozan.
“Halo
Kak Ozan?” tanyaku.
“Maaf,
saya warga sini. Jika ini kerabatnya, saya cuma mau memberi tahu bahwa orang
yang punya hp ini tadi kecelakaan di jalan sebelum apotik. Dia sekarang sudah
saya bawa ke Rumah Sakit Apendo, ruangan C nomor 3” Ucap seseorang disana.
Aku
terkejut dan tidak menjawabnya. Tatapanku kosong dan hatiku tidak karuang. Aku
berkata.
“Kak
Ozan!” ucapku pelan.
“Kenapa
Ti? Kak Ozan? Kenapa?”
Mataku
mengeluarkan airnya dan hatiku terasa sakit. “Kak Ozan kecelakaan dan sekarang
dia ada di Rumah Sakit Apendo.” Ucapku sambil menangis tak karuan.
“Hah?”
Ketiga temanku terkejut mendengarku.
Aku
tidak memperdulikannya. Aku langsung menarik teman-temanku ke luar ruangan dan
lari mencari angkot untuk ke rumah sakit. Rasa sakitku tidak terasa, tertutup
oleh perihnya hati ini. aku tidak tenang sedikitpun dan ingin cepat sampai ke
rumah sakit. Selama perjalanan, aku hanya berdiam diri dan menangis. Angkot
telah sampai tepat di depan Rumah Sakit Apendo. Aku langsung berlari ke ruangan
yang orang tadi sebutkan. Lalu, tepat di depan pintu ruangan itu, terdapat
orang yang tidak aku kenal. Aku yakin itu adalah orang yang menelponku tadi.
Dia adalah orang yang sepertinya sudah cukup tua.
“Pak?
Apa bapak tadi yang menelponku untuk memberi tahu kecelakaan teman aku?” ucapku
sambil panik.
“Ya,
betul. Temanmu tadi hendak mau menyeberang ke Apotik. Lalu ada mobil yang
menabaraknya dari lawan arah. Mobil itu langsung melarikan diri, sementara dia
terpental jauh dan tidak sadarkan diri sampai sekarang. Dokter sedang
memeriksanya sekarang.” Ucap Bapak itu menjelaskan.
Aku
mendengarnya begitu ngeri. Lalu aku pun kembali menangis. Ketika aku menangis,
ada dokter yang keluar dari ruangan itu.
“Bagaimana
kondisi teman saya dokter?” kali ini Yanti yang menanyakannya.
“Kondisinya
begitu parah. Kepalanya bocor dan kehabisan banyak darah. Semoga, kita bisa
membantu nyawanya dengan alat yang kita punya.” Jawab dokter itu.
“Oh,
terima kasih doter!” ucap Yanti.
“Sama-sama. Baik, permisi saya mau pergi.”
Jawab dokter itu sambil meninggalkan kita.
Aku
dan teman-teman langsung masuk ke ruangan itu dan menghampiri Kak Ozan. Aku
memegang tangannya. Kondisinya begitu mengerikan. Kepalanya di perban. Dia lalu
membuka matanya sedikit.
“Tian?”
ucap Kak Ozan.
“Kak
Ozan? Kak aku salah! Aku salah! Aku sayang sama kakak! Aku menyesal tidak
berkata sejak awal.” Ucapku menangis.
“Tidak
apa-apa Tian. Lain kali, kamu tidak boleh seperti itu. Kamu harus jujur
terhadap perasaan kamu. Jangan sampai terlambat, karena penyesalan itu selalu
datang terlambat.” Jawab kak Ozan terpatah-patah.
“Aku
ga terlambat kak. Aku masih bisa ngomong sama kakak. Stay with me kak!” ucap Tian.
“Tidak
Tian. Waktu kakak sudah habis. Kakak titip pesan sama kamu. Kakak sayang sama
kamu, tapi sayangnya kakak cuma jadi pengagum rahasia. Dan...” belum selesai
Kak Ozan berbicara, dia sudah menutup matanya dan menghembuskan napasnya yang
terkahir.
“Kak
Ozannnn!!!!!!!!!!” ucapku menangis sekencang-kencangnya.
Kak
Ozan sudah tidak ada dalam kehidupan ini. tetapi, dia masih ada di hidupku.
Terutama di hati ini. ia akan tetap di sini selamanya. Dia benar, penyesalan
itu selalu datang terlambat. Dan dalam hidup itu, kita harus jujur terhadap
perasaan kita masing-masing sebelum datang yang namanya penyesalan.
***SELESAI***
“Jujurlah terhadap perasaan. Karena kesempatan itu
sama seperti hidup, yaitu cuma datang sekali. Jangan pernah gengsi dan
membohongi perasaan kamu sendiri. Sebelum datangnya hal yang bernama
PENYESALAN. Karena dalam hidup, penyesalan itu selalu datang terlambat.”
Penulis: Muhamad Fauzian
Ig: fauzian.muhamad
Tweet: @fauzianmuhamad6
FB: Fauzian Sebastian